Jam dinding menunjukkan pukul 14.00. Tidak terasa 4 jam telah berlalu setelah prosesi akad nikah yang gagal. Namun, Alifya dengan segala pernak-pernik kebayanya, masih terduduk statis di tengah ruangan. Tempat yang seharusnya menjadi saksi dua insan dalam menjalin cinta kasih abadi, pupus sudah.
Ekspresinya datar, tidak gembira juga tidak sedih. Tapi matanya…penuh luka yang menganga, hingga sebuah pesan masuk di Hpnya, menguak alam sadar Alifya yang sedari tadi membumbung entah kemana.
Fikri
“Karena cinta itu tulus, walau kalah kamu akan tetap menang, hanya karena kamu berbahagia dapat mencintai seseorang lebih dari diri kamu sendiri. Akan tetapi tiba saatnya kamu harus berhenti mencintai seseorang, bukan karena dia telah menyakiti kita melainkan karena kita menyadari bahwa orang itu akan lebih bahagia apabila kita melepaskannya.
Panjang dan sarat akan makana. Entah apa yang terlintas di benak Alifya, ekspresinya tetap datar bahkan terlalu hambar. Perlahan Alifya bergerak meninggalkan tempat penuh luka dengan sebuah tanya, “Kenapa, Mas?”. Hanya beberapa langkah berjalan, tubuhnya oleng, terjatuh dengan sempurna. Batu karang itu tak selamanya berdiri dengan kokoh. Adakalanya dia merapuh akibat hempasan ombak yang menerjangnya berulangkali.
Seminggu sebelum akad nikah…
“Jadi pacaran itu bertentangan dengan Islam, sesuai dengan QS. Al Isro ayat 32 yang artinya : ‘ Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk’”, ujar Sang Ustadz saat Fikri bertanya tentang pacaran,
Sudah tiga hari Fikri mengikuti “MABIT” (Malam Bimbingan Iman dan Takwa) yang diadakan Rohis. Dan hari ini, hari terakhirnya berada di daerah pegunungan. Fikri mengikuti acara ini dengan konsentrasi penuh, sangat kontras dibandingkan niat awalnya, yakni sekedar iseng. Namun berawal dari keisengan itu sendiri, ada yang telah berubah di sanubarinya. Satu batubesar mengganjal di hatinya. Sesuatuyang tidak pernah bahkan takkan pernah terlintas di pikirannya.
Di keheningan malam ini, Fikri duduk bersimpuh, mengadukan segala gundah yang ia alami.
“ Ya Allah…Aku sangat mencintainya. Aku tak sanggup memalingkan rasa cinta ini kepada yang lain. Ia telah menjadi kupu-kupu indah di taman hatiku yang selama ini hampa dan tandus. Terima kasih karena Engaku telah menganugerahkan cinta ini. Kalau boleh aku ingin dia menjadi pendamping hidupku di dunia dan akhirat. Tapi… Aku telah menodai makna cinta yang begitu suci. Maafkanlah segala salahku selama ini. Dan jagalah aku dari segala perbuatan buruk akibat cinta ini. Bila dia bukan yang terbaik bagiku, maka jauhkanlah kami sejauh mungkin. Dan carikanlah yang terbaik bagiku yang berlandaskan cinta kepadaMu. Amin…”
Fikri menutup doanya dengan isak tangis yang mengharu biru. Ganjalan hatinya telah menyembul ke permukaan. Kegalauan itu bernama kebimbangan akan landasan cintanya pada Alifya. Kenapa baru sekarang?
Tak terkirakan lagi sakit di hati Alifya, hingga dia tak sanggup menangis, sekedar mengeluarkan gejolak hati yang terluka parah. Diam dan hanya diam. Bisu, hening telah menjadi temannya selama ini. Arrayan Fikri, lelaki yang telah mengisi hari-harinya dengan kebahagian selama 10 tahun. Begitu banyak kisah indah. Namun, kini semua tinggal kenangan. Sebuiah kenangan yang sangat pahit bila terus dikenang, namun alangkah sayang jika harus terbuang begitu saja di bak sampah memori otak.
Hingga suatu hari…
“Bu, Alifya ingin ke Australia, Alifya ingin melanjutkan kuliah di sana.” Kali pertama suara Alifya terdengar setelah sekian lama lenyap oleh angin.
“Ibu tahu nak akan sakitmu. Ibu tidak akan melarangmu. Mungkin ini yang terbaik bagimu. Biar waktu yang menyembuhkan luka…” Belum selesai berkata, Ibu Nurul terisak, mengikuti perih Sang buah hati yang dia asuh sendiri dengan penuh perjuangan setelah ditinggal suaminya menghadap Sang Pencipta.
“Tapi yakinlah nak, jangan pernah menyalahkan Fikri. Dia pasti punya alasan tersendiri. Ibu kenal dengan pribadinya.”
“Iya Bu, Alifya paham. Biarlah yang lalu tetap berlalu. Tidak perlu ditangisi. Semua sudah menjadi kehendak Allah,” jawab Alifya sembari tersenyum.
“Percuma anakku kau menutupi lukamu dengan senyuman, karena matamu yang berbicara. Pergilah anakku… Carilah obat dari segala sakitmu. Doa Ibu menyertai,” ujar Ibunya dalam hati.
Dua tahun telah berlalu.
Seorang wanita muda berkerudung biru laut melangkah dengan anggunnya ke sebuah rumah. Rumah yang ditinggalkannya selama dua tahun untuk mencari ketenangan batin. Wanita itu wanita yang sama dengan wanita dua tahun silam. Yang berbeda hanya dia telah berjilbab dan sinar matanya penuh dengan kedamaian dan ketenangan. Yang dulu hanya ada luka dan perih. Wanita itu Alifya, Alifya Azmi.
Di dimensi lain.
Waktu dua tahun lebih dari cukup bagi Fikri menimba ilmu, mencari pelepas dahaganya selama ini yang tak pernah terpenuhi walau sebanyak apapun. Hal ini bagi Fikri takkan bisa menebus kebodohannya. Sama halnya dengan Alifya, Fikri pun telah menemukan kedamaian hatinya.
Hingga…
“Ya… ada. Ada adik didik saya yang juga siap menikah. Bagaimana kalau kita pertenukan mereka di masjid Ar rahman ba’da Dhuhur hari Ahad depan. Insya Allah Sabtu besok saya akan pulang ke Indonesia,” terang ustadzah Dina, orang yang selama ini membimbing Alifya di Australia.
“Baiklah. Kita bertemu di sana,” sambung ustadz Halim, karena dia akan mencarikan pendamping hidup untuk adik didiknya.
Ahad, bertempat di Masjid Ar Rahman. Ba’da Dhuhur. Keempat orang yang telah ditakdirkn bertemu, telah berkumpul di dalam masjid dan hanya dibatasi selembar tirai.
Terjadilah percakapan itu seputar kehidupan sehari-hari. Dan yang menjadi sebuah tanda tanya besar adalah tidak ada dari mereka berdua menyebutkan nama masing-masing.
Hening beberapa lama, tiada suara, semuanya membisu, bingung bercampur dengan detak jantung yang kian kencang.
“Baiklah, kalau terus-menerus begini, langsung saja kita buka tirainya agar kalian bisa lebih mengenal,” ujar ustadz Halim memecah kesunyian.
Entah apa yang ada di benak dan hati merek berdua, hingga 10, 20, dan 30 detk telah berlalu begitu saja. Dan…
Tiba-tiba saja terdengar suara tangis yang pecah baik oleh Alifya maupun Fikri. Itu juga yang membuat ustadz Halim dan ustadzah Dina heran. Tangis itu membahana, tangis bahagia atau sedih, entahlah. Rencana Allah lah yang berjalan. Kebesaran Allah telah mempertemukan mereka kembali, dan pastinya dalam keadaan yang lebih baik. Subhanallah… Maha Suci Allah.
Saat tangis itu mulai reda, meluncurlah kisah sendu dulu dari lisan Fikri, cerita tentangnya dan Alifya. Ustadz Halim dan ustadzah Dina tiada hentinya berucap Allahu Akbar, begitu agungnya Allah atas rencana yang begitu sempurna dan terbaik bagi hambaNya.
Salah satu dari tujuh golongan yang masuk surga : 2. Manusia yang saling mencintai karena Allah dan berpisah pun karena Allah.